Musik bagi saya cuma tentang dua hal: kalau tidak kemarahan, ya bersuka cita. Nah, di antara dua hal itu, terseliplah lelucon macam video Tiktok pelajar SMA kabupaten yang two-step di kelas, bualan “sebutin 3 lagu dari band yang kaosnya lo pake”, dan inkonsistensi Surnalisme.
Sudah 8 tahun, kami, Surnalisme, memaksakan diri untuk menjadi media pilihan masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca rendah. Itulah mengapa, dalam banyak hal, gaya gonzo/satire kami sering dipermasalahkan karena sebagian besar cuma soal salah paham.
Surnalisme lahir 2015, masa di mana bunga-bunga musik folk lokal bermekaran. Respons hangat hadir menemani tahun-tahun pertama kami.
Salah satu tulisan pertama Surnal adalah ulasan album Silampukau – Dosa, Kota, dan Kenangan. Beberapa bulan kemudian, kami mengomentari acara Cassette Store Day di sebuah tempat (saya lupa) yang tidak seru karena tidak ada penampilan musik. Sisanya adalah bacotan sejarah.
Surnalisme 2015 – 2019
Tahun-tahun berlalu, kami sangat menikmati era festival musik di mana satu hajatan terdiri dari puluhan penampil. Ada penyanyi top 40, grup musik lawas, unit metal dengan massa gila moshing-nya, dan lain-lain. Yang bagus banyak, yang jelek tak terhitung.
Di tengah polemik RUU Permusikan pada 2019 silam, “Peradaban” yang katanya lebih keras dari musik metal mana pun, hingga kesehatan mental sebagai tema favorit utama sebuah lagu, situs kami dibajak dan harus ditebus seharga US$600 atau hampir Rp10 juta rupiah pada saat itu.
Kombinasi sulitnya bermedia di tengah tanggung jawab kerja dan pilihan bermusik, membuat Surnalisme pun terbengkalai.
Berbagai macam media musik ringan dan berbalut humor belakangan muncul. Kami tak ada masalah dengan itu, toh seperti yang saya bilang di awal: musik cuma soal marah atau bersuka cita.
Yang jadi masalah adalah, keberadaan predator, peleceh, dan enabler-nya kian merebak. Gigs jadi tidak aman karena individu-individu kepalang sange.
Pandemi dan Lubang Kekosongan
Di tengah carut-marut tersebut, pandemi Covid-19 menjauhkan jarak. Kami sempat membuat Surnal Podcast (sekarang akan dilanjut dalam program Shockbiz Podcast) dan tulisan panjang tentang memoar 10 tahun Brigade of Crow.
Sempat mencoba berganti domain dari Surnalisme.id hingga Surnal.com, kini kami berlanjut dengan Surnalisme.com seperti sedia kala. Tanpa perlu berharap produktif atau tidak, setidaknya misi kami selain membicarakan omong kosong musik bertambah: menyerang para pelaku pelecehan seksual, cancel se-cancel-cancelnya, sampai mereka habis dimakan tanah.
Kami juga masih akan terus bercerita tentang kisah musik serta hal yang berkaitan dengannya. Karena cerita lebih baik daripada sekadar nongkrong, bikin band, dan berharap album kalian diriliskan oleh distro yang punya banyak uang.
“Dan apa yang kalian sebut sebagai dunia, seharusnya terlebih dahulu diciptakan oleh kalian ialah: nalar kalian, rupa kalian, kehendak kalian, untuk menjadi cinta kalian sendiri! Dan sebenarnya, untuk kesucian kalian, wahai kalian makhluk yang mengetahui !”
Mengutip Zarathustra yang keluar dari gua pertapaan lantas berbicara demikian di depan khalayak umum, saya masih akan tetap bilang bahwa showbiz dan tetek-bengeknya adalah lelucon yang patut kita tertawakan bersama. Kontemplasi atas sejauh mana kita menjadi diri sendiri.
Saya pun akan terus penasaran dengan cara kerja kancah hiburan. Maka dari itu, Surnalisme masih bakal skeptis dan mempertanyakan banyak hal. Mencibir hanya selingan belaka, kalau bisa diusahakan.
Akhir kata, Editorial Surnalisme ini turut didedikasikan untuk kepergian Aries Tanto alias Eben (Burgerkill) pada 2021 silam yang bikin saya se-merenung itu sampai detik ini. Seorang public enemy (atas omongan dirinya sendiri) tetapi pekerja keras yang bergerak dua kali lebih intens daripada kita semua. Smokin’ metal engine forever.
Selamat membaca kembali Surnalisme.