Di Kuba, stigma negatif heavy metal pernah mengekang anak muda. Sebagai bentuk protes, sekelompok penggemar musik itu dengan sengaja ‘memeluk’ HIV. Inilah kisah ikonik nan tragis Papo Delgado dan kaumnya, Los Frikis.

Hingga kini, musik heavy metal masih saja dipandang sebagai corak nan berbahaya dan provokatif.  Adanya aroma pembangkangan, kadang satanisme keblinger, ritus sesat, penyudutan terhadap satu gender tertentu, hingga macam lainnya, seolah terpatri dalam benak saat mendengar kata heavy metal.

Namun, tak jarang juga heavy metal serta ceruk pelakunya memperlihatkan sisi yang lebih bersahabat kepada khalayak. Sebut saja menonjolkan sikap brotherhood yang erat ketika di suatu pertunjukan, lirik-lirik yang menyelamatkan banyak generasi dan solidaritas super keren seperti halnya scene punk rock atau hardcore.

Bahkan, ada riset yang memunculkan fakta bila mendengarkan rock atau metal bisa meningkatkan kecerdasan seseorang sekaligus pula membuka pikiran menjadi lebih luas.

Berbicara kancahnya pun begitu masif, dari metal stadion seperti Mastodon atau Iron Maiden, bedak distorsi ala Poison, black metal yang membaringkan jiwanya untuk rock and roll, metal progresif fisika kuantum, menganga lihat band seperti Enforcer yang enggak lupa sama sepuh Obituary juga Sodom, gorong-gorong yang menyeruak di festival obscure macam Roadburn atau Oblivion Access, sampai kroni-kroni grindcore seruntul yang tersebar di seluruh jagat. 

Baiklah, balik maning nang lap. . .naskah! kami tak sengaja menemukan satu kisah sinting karena melibatkan heavy metal sebagai biang keladi satu generasi di Kuba.

Namun patut digarisbawahi, dampak masif ini berasal dari tindak tanduk satu tokoh yang akhirnya mengilhami banyak individu menjadi pengikutnya. Niat hati ingin menentang tirani dengan gagah, apa daya yang terjadi adalah kebalikannya: menderita dan hancur.

Kami kesengsem dengan sekelumit kisah Luis Enrique Delgado alias Papo, patronase krusial dalam satu kelompok bernama Los Frikis.

Ini berawal dari satu festival metal besar bernama Ciudad Metal yang berlangsung di kota Santa Clara medio 1990. Tahun itu merupakan era penting, bagaimana akhirnya gegap gempita budaya tandingan berupa konser musik megah bisa dihelat di Negeri Cerutu.

Santa Clara sendiri merupakan wilayah cukup bersejarah bagi Kuba. Sebab, Ernestos ‘Che’ Guevara pernah mengambil alih daulat poltik pada tahun 1958 silam.

Papo dan Gegap Gempita Ciudad Metal

papo delgado

Papo adalah salah satu dari ribuan metalhead yang berbondong-bondong menuju Ciudad Metal kala itu dan harus melewati 275 mil dari kediamannya dengan menebeng orang tak dikenal.

Papo sudah bengal sedari remaja. Dia mendapat didikan sekaligus perlakuan keras (bogem setiap hari) dari sang ayah yang alkoholik mampus, meski Papo ‘memberontak’ dengan musik metal.

Led Zeppelin, Metallica, Kreator, Motorhead dan majalah rock bekas adalah mesiasnya. Hiasan tindik dan tato sudah nyantol di tubuh dan mengukuhkan dirinya sebagai begundal jalanan. Ia bahkan pernah terjerembab di tirai besi selama hampir dua tahun.

Kembali ke Ciudad. Grup metal kebanggaan Kuba, Zeus, menggeber nomor pamungkas “Violento Metrobús”. Para penonton merangsek menuju bibir panggung dan mulai melakukan stage diving.

Polisi mementung setiap orang yang rusuh. Tak jauh dari lokasi keriaan, Papo mengepalkan tinjunya. Itulah intinya. Dia menemukan siapa dirinya: seorang pemimpin. Dia ingin mengambil kembali kuasa untuk orang-orang seperti dirinya.

Usut punya usut, Papo berangkat ke Ciudad Metal membawa satu misi membentuk satu klan. Sebelumnya, ada desas-desus yang beredar tentang tindak gendeng yang dibuat oleh beberapa gerombolan metal atau hardcore. Kumpulan tersebut dijuluki ‘frikis’, terjemahan pelafalan dari kata bahasa Inggris yang berarti ‘freaks’.

Anak-anak ini secara sengaja menyuntik diri mereka sendiri dengan HIV, virus yang merusak sebagian populasi pulau itu. Mereka dibenci negara, termasuk pemimpin Fidel Castro yang konon bakal menjadi sampah dan parasit bagi masyarakat Kuba. Papo bersama Los Frikis semakin menggila. Karena dosis heavy metal, rock dan jarum suntik, mereka melancarkan protes.

Para friki enggan mematuhi slogan dari Castro: “Patria o muerte!” alias ‘”Tanah Air atau Kematian!”, dalam hal ini membela negara secara kaku dan aman.

Generasi awal para pembangkang yang menggemari rock di akhir ’70-an dan awal ’80-an telah dijuluki ‘frikis’ oleh negara, tetapi pada akhir tahun ’80-an justru nama itu diperebutkan.

Para penggemar metal yang sedang gandrung kerap kali sulit meraih label itu. Aktivitasnya sebagai berikut: melalaikan dinas militer lanjut nongkrong di taman kota, memainkan musik dengan keras dan memalsukan resep pil. Mereka menumpang di antara kota besar dan kecil. Kikis pintu mobil dan mengutil toko kelontong.

Polisi dan kelompok garis keras pro-pemerintah dibentuk untuk menghalau para remaja yang ngeyel kebangetan seperti Papo. Ketika salah seorang friki ditangkap, mereka dijotos, didorong ke dinding dengan bayonet atau dipotong rambutnya dengan pisau. Jika mereka mencoba berbicara kembali, bonyoknya lebih buruk. Pertama kali Papo masuk penjara karena nyolong sekaleng makanan, kedua denda yang berlipat ganda karena menjadi friki.

Sumpah, Nista, Resureksi

papo delgado los frikis

Papo bertemu sekaligus menemukan tambatan hati bernama Niurka Rojas Fuentes. Pada awalnya, perempuan asal Desa Guena ini bersinggungan dengan Papo, pemimpin Los Frikis setelah empat tahun mengemban pendidikan sebagai guru di Pinal del Rio. “Lelaki angkuh tapi karismatik”, kenang Niurka.

Pada waktu bersamaan, Papo menghasilkan julukan baru dari para frikinya yakni la Bala atau “Peluru”, sebutan slang untuk boti macam secobarbital, dexedrine, dan haldol yang sering diperoleh Papo dengan bantuan buku resep hasil curian.

Beberapa hari setelah hubungan mereka, Papo memberi tahu Niurka bahwa dia menumpang ketika ke festival Ciudad Metal, tempo hari. Dalam perjalanan pulang, dia berhenti untuk menemui teman masa kecilnya Juan Miguel, yang tertular HIV dan dirawat di salah satu dari 14 sanatorium yang didirikan pada pertengahan tahun 80-an oleh dinas medis nasional untuk memerangi virus baru.

Di sanalah, pada 4 Juni 1990, Papo Delgado berkehendak menyuntik dirinya dengan HIV.

Ada ungkapan di antara Los Frikis untuk anak-anak pilihan seperti yang dibuat Papo:

La vola atau The Oath, artinya “sumpah”.

Dalam rangka menyematkan la vola, mereka mencari seorang pengidap HIV positif untuk diminta darahnya yang lantas akan disuntikkan ke pembuluh darah tubuh sendiri.

“Saya membuat diri saya AIDS – dan banyak orang lain seperti saya – karena kami adalah kelas yang paling teraniaya di seluruh negeri,” ujar Papo. “Polisi jatuh paling keras pada kami. Semua hukum menentang kami. Itu adalah tingkat diskriminasi sepenuhnya tanpa demokrasi!”

Kendati demikian, itu bukan satu-satunya alasan Papo menyuntik dirinya sendiri. Menjadi HIV+ berarti dia dapat menghindari jeblosan penjara. Sebaliknya, itu adalah tiket ke El Sanatorium. Kehidupan di sanatorium melindungi pasien yang dikarantina dari kekurangan makanan dan pemadaman listrik atas apa yang oleh Fidel disebut sebagai “Periode Khusus”, sebuah eufemisme untuk kejatuhan yang melanda ekonomi Kuba ketika Uni Soviet mulai runtuh paruh akhir 1980-an.

Lima pekan pasca Papo kembali dari Ciudad Metal, kurang dari sebulan setelah ulang tahun ke-19 Niurka, dua sejoli ini menikah di sebuah kantor pemerintah. Niurka mengambil sumpah versinya sendiri. Kendati Niurka tidak memakai moda suntik, tapi dia dan Papo sengaja melakukan hubungan seks tanpa pengaman agar bisa tertular HIV dan bersama sang suami di sanatorium.

Dalam waktu singkat, sanatorium menjadi semacam ‘surga heavy metal’  bagi keduanya. Mereka memiliki kabin cinderblock pribadi dan dapat memainkan musik sekeras yang diinginkan.

Papo dan Niurka mendapat izin keluar seminggu sekali, di bawah pengawasan ketat, untuk sekadar pelesir ke pantai atau Sungai Guamá tak jauh dari sana. Sebagai metalhead, Papo turut membentuk sebuah band metal bernama Metamorfosis dengan tiga anggota frikis lainnya di sanatorium. 

Ratusan metalhead muda di seluruh pulau telah mendengar tentang Papo ‘sang Peluru’, dengan banyak dari mereka mengikuti teladannya yakni melakukan la vola alias pakaw. Niurka kemudian mengatakan secara pribadi bahwa dirinya mengenal 140 frikis yang telah menyuntik diri dengan virus HIV.

Di luar itu, dia menduga ada total 800-900 di seluruh Kuba.

Bagi Los Frikis, ini adalah bentuk ‘acungan jari tengah’ paling pantas untuk Fidel Castro dan koloninya. Sebuah demonstrasi putus asa, mengejutkan dalam corong nihilisme menohok dan kesederhanaan merusak diri sendiri.

Padahal jika menilik latar waktu, tepatnya awal tahun 90-an, itu adalah masa sebelum ketersediaan obat antiretroviral. Dengan kata lain, la vola adalah tindakan ‘bunuh diri’ yang lambat tapi absolut.

Senjakala Los Frikis

los frikis cuba

Banyak frikis muda tak mencerna tindakan yang hanya berlangsung sesaat itu. Mereka tidak menaruh percaya penuh bahwa ‘sumpah’ itu final.

Yang lebih memilukannya lagi, tak sedikit dari para penyumpah percaya bahwa Fidel Castro sudah memiliki obatnya dan sedang menunggu waktu yang tepat untuk diumumkan ke khalayak.

Padahal tidak.

Satu per satu duka mulai terjadi. Setelah lima bulan di sanatorium, sosok pertama yang meninggal adalah sahabat Papo sendiri, El Flaco. Banyak pula frikis masuk ke dalam kondisi kritis.

Hari-hari selanjutnya adalah kelabu. Kabar kematian datang dengan rata-rata dua sampai tiga nama per hari. Beberapa surat kabar memberitakan tentang nasib Los Frikis yang berangsur hancur.

Kondisi ini pun seolah memecah suara. Ada yang masih lanjut bersumpah, tetapi kebanyakan memutuskan berhenti dan menjauhi itu. Sikap sebagian besar anak muda kembali sebatas ideologi pemberontakan saja tanpa harus menginjeksi HIV.

Namun bagi mereka yang telah bersumpah tetapi sadar kalau itu salah, wassalam. Tidak ada obat.

Robert Arellano yang menulis laporan ini sempat berjumpa Papo pada tahun 90-an. Ia masih mengingat omongan Papo kala itu.

Ketika harus mengambil ‘sumpah’, dia tidak menyimpan penyesalan pribadi apa pun. “Aku akan bertahan,” kata Papo secara yakin, diperagakan oleh Arellano.

Papo tampak tidak nyaman dengan banyaknya anak muda sebegitu mengalami ketakutan karena menyebut namanya sebagai inspirasi untuk injeksi akan pengakuan yang sungguh brutal. Beban menjadi juru bicara dan meningkatnya keputusasaan di mata para frikis muda yang meneladaninya.

Dia merasa itu merupakan sesuatu yang tidak pernah bisa diterima.

Pada tanggal 15 Juli 1995, sepekan sebelum ulang tahun ke-26, Papo Delgado mangkat karena penyakit cryptococcosis serebral – jamur parasit yang menggerogoti otaknya, sepanjang empat tahun.

Namun di sisi lain, Niurka masih hidup. Dia masuk dalam kategori pasien AIDS langka yang mampu bertahan cukup lama hingga obat antiretroviral tiba.

Seketika pula Los Frikis berakhir dan hilang dimakan ajal. “Semua yang aku kenal telah tiada,” sendu Niurka sambil menahan isak tangis.

Bertahun-tahun setelah kematian Papo, Arellano terlibat dalam sebuah wawancara dengan seorang pendeta terkemuka Kuba yang berteman baik dengan Fidel Castro. Pemuka agama itu berkata bahwa dia telah memberi tahu Castro apa yang dilakukan Los Frikis terhadap diri mereka sendiri.

Dia mengklaim bahwa pemimpin itu mendengarkan, lalu berkata: “Saya tidak tahu. Saya percaya Anda tapi saya bahkan tidak bisa mempercayainya.”

Mungkinkah Castro mempelajari Los Frikis serta laku la vola, lantas menggerakkan roda yang memungkinkan sikap untuk lebih toleran terhadap baragajul metalhead yang berseliweran di Kuba ketika milenium baru? Bisa jadi.

***

Awal 2007, pemerintah Kuba telah mengizinkan pembentukan Agencia Cubana de Rock yang mempromosikan konser dan festival rock dan metal di seluruh pulau.

Ciudad Metal sendiri kembali bergulir tahun 2000, satu dekade setelah terakhir diadakan. Tahun 2007, festival berlangsung dari 29 November hingga 3 Desember. Lebih dari 20 band tampil menggelegar.

Kini, Ciudad Metal dihiasi dengan para aparat yang  tersenyum dan mengobrol begitu ramahnya dengan anak-anak yang berpakaian serupa Papo ketika lampau.

Ide Papo dan tragedi yang diakibatkannya mungkin bertanggung jawab untuk membalikkan penganiayaan sistemik terhadap penggemar metal dan kaum muda.

Robert sering bertemu Papo setahun sebelum kematiannya. Dia bepergian dengan kamera video dan terus melatih kemampuan perekamannya. Objek video tentu saja Papo, revolusioner sejati dari Kuba.

“Lekas ceritakan kisah kami kepada dunia!” pesan Papo.

Dari segala arah, Luis Enrique Delgado alias Papo bakal selalu mengokang heavy metal dan melesatkannya bagai peluru. Viva la Bala!

**Cerita retrospektif dari laporan Roberto Arellano | Sumber: Metal Hammer

0 Shares:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like