Dentum bas repetitif, laju drum intens, distorsi gitar memecah keheningan. Sampai sini, belum ada tawa setan dari sang pemandu suara. Perkenalkan Brigade of Crow, kuartet ugal 666 km/jam, membuka perhelatan lewat “Balada Skala A-Minor!”
Habis introduksi, nomor klasik “Skizofrenia dalam Sirkuit Labirin Tanpa Akhir” dimainkan. Ya, tembang filosofis yang mengajak kita beranalogi seputar diameter Bumi dan lubang anus.
Apa yang terjadi kemudian adalah kacau-balau. Romansa “Helter Skelter” hingga agitasi “Sistem Paling Baik, Hanyalah… Soundsystem!” bikin hadirin menjelma seperti gerombolan murid TK kompleks sebelah saat praktik manasik haji: liar, keluar jalur, susah diatur.
Aksinya di atas panggung memang sebentar, tak sebanding dengan kisah yang mereka lalui. Brigade of Crow berdiri sejak 2010 silam dan sebagai bentuk dedikasi, saya mencatat memoar ini bersama Ucup (vokal), Opung (gitar), Dwey (bas), serta Eno (drum).
Ajuan wawancara diberikan pada 1 Mei 2020 via WhatsApp Messenger mengingat lagi-lagi, wabah corona masih berkeliaran di luar sana. Selamat membaca!
Melihat Dunia Berdasarkan Perspektif Brigade of Crow
“Lu kira hidup cuman buat mati?
Burung gagak pun juga bisa mati!
Lu kira dunia segede lubang tai?
Bayangin pantat tengahnya bumi!
…Pertuhan, Putar balik dunia!”
Kutipan terakhir dalam bait lirik “Skizofrenia dalam Sirkuit Labirin Tanpa Akhir” menyiratkan bahwa BOC adalah band sembrono sekaligus meyakinkan dalam waktu bersamaan. Sebagai personel sejak hari pertama, saya mempertanyakan rahasia kelanggengan grup ini pada Opung.
“Saling cuek dan fun dalam menjalani seluruh proses, sampai bisa mengambil keputusan dengan kapasitas masing-masing tanpa harus ada arahan, membuat BOC bertahan sampai sekarang,” ujarnya.
Rekam jejak BOC diwarnai oleh beberapa kali pergantian dan perekrutan anggota. Berdasarkan linimasa penggarapan album, skemanya seperti ini:
Serdadu Gagak (2014)
2010: Vokal – Ado (Haramarah), Gitar – Indek, Bass – Helmi (Fvcked, Voice of Youth Recs), Drum – Opung
2012: Vokal – Ucup, Bass – Ubbo
Delta Blues Narkotik (2018)
2016: Drum – Randi (Werewolf, B.T.S, dll), gitar – Opung
2016: Drum – Garry (Ayperos, The Cruel, dll)
2017: Drum – Seno (Sosial Ilegal, T.E.O.S, Toxic Mob, dll)
2018: Bass – Dwey (Werewolf, Succubus, Radioaktif, dll)
Selain nama di atas, kawan lainnya yang turut berkontribusi meliputi Danil Cimpoda, Ucok (Ayperos), Afif (Dystopian Dog, Kontrasosial, dll), Deon (Werewolf), Ody (Disabled, T.E.O.S, Xin Lie, dll), dan Aldo (Blackhawk, dll).
Dari seluruh personel BOC sekarang, Dwey adalah anggota paling muda sejak 2018. Dia menjadi pelengkap dalam departemen bas dengan misi tertentu.
“Satu hal terbesar yang ingin saya perbaiki cuma soal energi, soalnya BOC sempat ada di fase drop. Selebihnya enggak ada, paling memperbaiki akhlak, hahaha,” katanya.
***
Brigade of Crow dinilai memiliki beragam makna di mata orang. Namun lewat perspektif Ucup, temanya berangkat dari kepekaan akan kejadian di sekitar kita.
Opung menambahkan bahwa lirik BOC berangkat dari kebingungan manusia terkait pertanyaan dasar yang berlandaskan “mengapa?” dan “haruskah?” dengan gaya simile atau metafora. Sebuah upaya menghadirkan perspektif berbeda bagi para pendengar.
“Misal ‘Rock ‘N’ Roll Apokalips!’ yang mempertanyakan kepercayaan tiap individu manusia satu sama lain sampai berbuah keputusasaan, saling benci dan ngarep kiamat biar jadi adil…
Sampai “Sistem Paling Baik, Hanyalah Soundsystem!” yang mempertanyakan, ‘apakah aku ‘harus membenci sebuah sistem? Atau mungkin, akulah sistem itu sendiri?’” Kata Opung.
Secara sederhana, lanjut Opung, pesan dari semua lirik lagu BOC mengingatkan tentang betapa kompleks dan rumitnya pemikiran antar manusia ketika berdiri di antara benar dan salah, baik dan buruk, dan seterusnya.
Kalian berada di mana?
No Speed Limit for Destruction: Brigade of Crow 101
Ghirah Brigade of Crow serta riuh audiens dalam lantai dansa, sedikit banyak tersirat lewat judul lagu Inepsy di atas. Tak perlu batas kecepatan untuk sebuah kehancuran, tugas kita sekarang adalah memikirkan agar proses tersebut berlangsung secara indah. Gila!
Sebagai salah satu primadona gelaran musik independen/kolektif saat ini, BOC serupa cawan pemenuh dahaga bagi jiwa-jiwa yang haus akan rock n’ roll semalaman tiada henti. Citra kebut-kebutan bak RX-King, begitu kental dan sulit dipisahkan.
“Ngebut? Cepat seperti sperma, sekejap seperti orgasme. Apapun pelabelan yang dikaitkan orang lain, menurutku baik-baik saja. RX-King sebagai bentuk paling cult dan horor di masyarakat, enggak masalah. Mungkin ada yang lebih sadis dan kelam? Silakan,” ujar Opung.
Sementara bagi Ucup, kaitan BOC dan RX-King mengalir begitu saja tanpa terdeteksi sejak awal. Jika harus ada embel-embel selain motor dua tak tersebut, dia merekomendasikan satu hal.
“Ngebut, ya? mungkin pacuan bertenaga yang bergejolak mendebarkan hati akan hasrat tertentu, hahaha. Pengin sih, misalnya dikaitkan dengan… ‘Duh, meni karasep personel BOC teh, barageur, saroleh (Personel BOC pada ganteng, baik, soleh). Hahaha,” tuturnya.
***
Tak sekadar ugal-ugalan, namun bukan berarti teoretis, BOC punya pakem tertentu dalam bermusik. Mulai dari Seno sebagai penanggung jawab drum, saya belajar rumus itu.
“Jujur sebenarnya untuk snare, saya ngejar suara high & tight tuning. Sementara buat skill drum yang harus dimiliki, mungkin salah satunya mempertahankan ritme dan stamina yang cukup!”
Perlengkapan menunjang, fisik yang prima, dan ketepatan berpikir, saya simpulkan menjadi modal penting. Intinya, ini rock n’ roll bukan sembarang rock n’ roll!
Lalu bagaimana dengan pengaturan gitar? Kalian bertanya, Opung menjawab.
“Kalau sound untuk live, pasti sangat random seperti kebanyakan band lain karena enggak ada amplifier tetap. Sementara buat rekaman album, referensiku 80’s tone yang begitu low gain dari stompbox Overdrive, EQ dan pre-amp,” katanya.
Secara garis besar, Opung mengusung nuansa zaman keemasan unit speed/thrash metal macam Destruction, Exodus, bahkan tiga album pertama Metallica. Kompleks tapi berkarakter.
Menyoal pengembangan diri, hampir semua individu punya rencana—tak terkecuali para personel BOC. Agar lebih objektif, saya minta mereka menilai satu sama lain sebagai berikut:
Opung : “Semuanya saling punya kekurangan, tapi juga tidak punya kelebihan.”
Ucup : “Eno suka lupa lagu, haha. Opung jarang nyanyi, padahal suaranya keren dan seram. Mungkin kagok sambil main gitar.”
Seno : “Mau komentar kalau sekarang, Ucup udah minum bir. Hahaha, Cheers!”
Tentang Hidup dan Mimpi Seekor Gagak
Intermeso bagi kalian yang bolos pelajaran biologi saat duduk di bangku sekolah! Berdasarkan studi, umur gagak umumnya mencapai 10 – 15 tahun. Lebih pendek lagi, spesies Amerika hanya berada di rentang 7 – 8 tahun. Beruntung, gagak Australia sampai 20-an tahun.
Apa maksudnya? Tidak ada. Namun sebagai peranakan Indonesia, BOC masuk dalam kategori tua dengan masa prima yang telah habis sejak beberapa tahun ke belakang.
Detak waktu begitu cepat, namun masih lebih kilat musik Brigade of Crow. Seperti anak yang bertanya pada bapaknya, saya mencari tahu pengalaman gila mereka saat manggung selama ini.
“Lecherous Gaze Tour 2015 di Jakarta, Tur terakhir kali di posisi drum, hilang arah satu malam dan ditonton sama drummer idolaku, Seno. Hahaha,” kenang Opung.
Sementara buat Ucup, salah satu memori indahnya terjadi tahun lalu saat SEA Tour 2019. Dia berujar bahwa mimpi untuk datang ke tempat yang awalnya hanya berada dalam benak, berakhir jadi sebuah kenyataan.
“Pengalaman tergila saat manggung yakni ketika area mosphit terlalu liar, sampai drum set berantakan dan muka ketiban simbal! Hahaha, alasannya karena cuma bareng BOC bisa ngalamin hal-hal chaos macam gitu. Seru!” kata Seno.
BOC, diwakili Opung, memandang petualangan mereka dari satu gigs ke gigs lain amat bermakna. Ingar-bingar, menggila dalam satu lingkaran, namun sarat akan pembelajaran.
“Pada sejumlah gigs non-tur yang cuma pengin party, band bayar 100 – 200 ribu buat keperluan sound dan tempat—kadang tanpa transparansi dari hasil jual tiket, lalu nombok, dan lain-lain. Namun di situ, kamu bisa menjadi bintang rock selama 20 menit…
Menurutku, bisnis kecil-kecilan ini membantu komunitas tongkrongan untuk memulai EO bertema kolektif agar punya alasan keren teriak “korporat, ngentot!” dan terlihat friendly tanpa ada kekurangan dan kelebihan, namun bisa saling menguntungkan dan adil, ya?” Tutur Opung.
Terlepas dari konsep acara, dia juga mengibarkan rasa segan pada pergerakan musisi lokal yang mampu menghasilkan warna baru. Nama-nama tersebut meliputi Overdose dan Der Jager (Yogyakarta), Ventor (Semarang), hingga Ancient (Bandung).
“Mereka sanggup menarik benang merahnya masing-masing dengan sangat baik, lalu mampu mempertahankan tradisi yang berat serta nyata,” katanya.
***
Jelang akhir sesi wawancara, saya sempat bertanya tentang pengandaian jika Brigade of Crow tak pernah ada. Jawabannya menarik.
B: “Jika tidak berada di BOC, atau bahkan tak berkiprah di dunia musik, kalian bakal ngapain?
O: “Kemungkinan besar bakal bikin BOC.”
Jawaban seperti ini, bikin saya menyandingkan pamor antara serial animasi sitkom dewasa Rick and Morty dan Brigade of Crow…
Bedanya, pasangan kakek – cucu tersebut punya versi alternatif di setiap dimensi, sementara BOC hanya satu: tetap ada, enggan berubah, mungkin skala kecepatan saja yang terpaut ruang dan waktu. Sisanya tegas dan tanpa tedeng aling-aling.
Memoar 10 tahun BOC ini, tak pelak hanya mencatat rekam jejak sang gagak dari lahir sampai sekarang. Pasalnya, mereka masih punya rencana panjang dan tak terbatas di masa depan.
“Semua band selalu mabuk dan mencoba melakukan perubahan. Namun bagaimanapun, kita selalu coba menarik benang merah yang sudah ada…
Apa pun hasilnya, bagaimana pun perubahannya, ini bukan soal metal, punk, atau bahkan seni. Tapi, ini semua tentang proses dan hasrat yang bakal ada dalam sejarah,” tutup Opung.
***
Betul, burung gagak juga bisa mati. Tapi, apa iya kalau hidup cuma buat mati? Selalu ada alasan untuk bertahan, tak ubahnya Brigade of Crow. Bahkan jelang usia rata-rata ajalnya, spesies putih dan albino yang satu ini masih mengepakkan sayap lebar-lebar.
Buat apa? Entahlah, mungkin hendak memutar balik dunia, mematikan telenovela, atau menebar ujaran ketidakpercayaan terhadap sistem selain sound system. Satu hal yang pasti, kelam dan horornya mereka serupa pekak bising knalpot RX-King dalam gang sempit.